Kontroversi Stairlift di Borobudur: Budayawan Yogyakarta Soroti Langkah Fadli Zon
Wacana permanennya stairlift atau alat bantu naik berupa tangga elektrik di kawasan Candi Borobudur kembali menuai polemik. Politikus sekaligus Wakil Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Fadli Zon, mengusulkan agar fasilitas tersebut dijadikan permanen demi memudahkan akses bagi kelompok disabilitas dan lansia. Namun, langkah ini tidak sepenuhnya diterima oleh kalangan budayawan, terutama yang berasal dari Yogyakarta—jantung kebudayaan Jawa.
Fadli Zon: Aksesibilitas Harus Diutamakan
Dalam pernyataannya, Fadli Zon menilai bahwa Candi Borobudur harus lebih inklusif sebagai destinasi wisata bersejarah dan spiritual yang berskala internasional. Salah satu langkah untuk mewujudkan inklusivitas tersebut adalah dengan menyediakan sarana naik yang ramah bagi penyandang disabilitas.
“Candi Borobudur adalah warisan dunia yang harus bisa dinikmati semua kalangan. Stairlift bukan merusak, tapi membantu,” ujar Fadli dalam sebuah wawancara.
Ia juga menegaskan bahwa penggunaan stairlift tidak bersifat invasif terhadap struktur candi karena hanya ditempatkan di sisi tangga luar dan bisa dioperasikan tanpa menyentuh langsung bagian-bagian kuno dari monumen tersebut.
Budayawan Yogyakarta: Jangan Hilangkan Sakralitas
Meskipun niat mempermudah akses dinilai baik, sejumlah budayawan dan pemerhati heritage di Yogyakarta menilai bahwa pemasangan stairlift permanen berpotensi mereduksi makna spiritual dan kultural dari Candi Borobudur.
Menurut mereka, naik ke puncak candi bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga ritual batin yang mencerminkan pencapaian spiritualitas. Kehadiran alat mekanik seperti stairlift dianggap dapat mengganggu keheningan dan kesakralan proses tersebut.
“Borobudur bukan hanya tumpukan batu tua, tapi ruang kontemplasi. Modernisasi yang berlebihan bisa membuyarkan makna aslinya,” ungkap Romo Sindhunata, seorang budayawan dan penulis asal Yogyakarta.
Beberapa pihak juga mengkhawatirkan bahwa langkah ini bisa membuka pintu bagi modernisasi lain yang merusak keaslian situs bersejarah tersebut jika tidak diawasi secara ketat.
Titik Temu: Akses Tanpa Mengganggu Nilai
Di tengah polemik ini, muncul usulan kompromi dari kalangan akademisi dan aktivis budaya, yakni menciptakan aksesibilitas alternatif di luar jalur utama naik ke candi, seperti pembuatan virtual tour interaktif, jalur keliling khusus, atau bantuan tenaga pemandu khusus bagi pengunjung dengan kebutuhan khusus.
Dengan begitu, misi inklusivitas tetap berjalan tanpa harus mengubah lanskap fisik dan makna simbolik dari candi peninggalan Dinasti Syailendra tersebut.
Modernisasi dan Pelestarian Harus Sejalan
Kontroversi stairlift di Borobudur menjadi gambaran klasik tentang benturan antara modernitas dan pelestarian warisan budaya. Di satu sisi, ada dorongan untuk membuat tempat bersejarah lebih ramah bagi semua orang. Di sisi lain, ada kewaspadaan agar peninggalan sejarah tidak kehilangan nilai sakral dan orisinalitasnya.
Langkah Fadli Zon memang membuka ruang diskusi penting tentang akses dan hak semua warga negara terhadap warisan budaya. Namun seperti disampaikan para budayawan Yogyakarta, inovasi tetap harus dilakukan dengan rasa hormat terhadap sejarah, filosofi, dan nilai-nilai luhur yang menyertai bangunan sebesar Candi Borobudur.