Ahmad Dhani Angkat Suara: Saya Melawan Oligarki Musik di Balik UU Hak Cipta
Kontroversi seputar revisi Undang-Undang Hak Cipta kembali mencuat ke permukaan, dan kali ini datang dari salah satu ikon musik Indonesia: Ahmad Dhani. Musisi yang dikenal vokal ini mengejutkan publik dengan pernyataannya bahwa dirinya sedang melawan oligarki musik yang bersembunyi di balik regulasi hak cipta.
Dalam sebuah wawancara terbuka, Dhani menegaskan bahwa UU Hak Cipta yang berlaku saat ini, dan terutama revisi terbarunya, dinilai lebih menguntungkan kelompok-kelompok besar industri musik ketimbang para pencipta lagu dan musisi independen.
Oligarki Musik: Apa Maksud Ahmad Dhani?
Menurut Dhani, “oligarki musik” merujuk pada sekelompok kecil korporasi, label besar, dan pemegang kekuasaan ekonomi yang mengendalikan industri musik tanah air. Mereka dinilai memiliki pengaruh kuat dalam merumuskan aturan yang justru membatasi ruang gerak musisi, terutama dalam hal royalti, lisensi, dan hak distribusi.
“UU Hak Cipta sekarang bukan lagi pelindung seniman, tapi alat kendali pasar yang dikuasai segelintir pihak. Saya tidak diam. Saya lawan,” tegas Dhani.
Kritik Terhadap Sistem Royalti
Dhani menyoroti sistem royalti yang dinilainya tidak adil dan tertutup, terutama terkait mekanisme kolektif manajemen hak yang selama ini diatur oleh lembaga tertentu. Ia mengklaim bahwa banyak musisi, terutama generasi lama, tidak mendapatkan hak mereka secara proporsional, meskipun karya-karyanya masih banyak diputar di berbagai platform digital dan media massa.
Selain itu, Dhani juga mempertanyakan kurangnya transparansi dalam pelaporan penggunaan lagu, serta lambannya distribusi royalti kepada para pencipta lagu.
Dukungan dan Pro Kontra di Kalangan Musisi
Pernyataan Ahmad Dhani langsung memicu respons beragam di kalangan pelaku industri musik. Beberapa musisi indie dan senior menyatakan dukungan atas keberaniannya menyuarakan keresahan yang selama ini hanya dibicarakan di belakang layar.
Namun, sebagian lainnya menilai bahwa Dhani terlalu emosional dan tidak memahami kompleksitas pengaturan hak cipta di era digital.
Seorang eksekutif label besar bahkan mengatakan, “Sistem ini tidak sempurna, tapi menyebutnya sebagai bentuk oligarki adalah tuduhan berat yang perlu data dan kajian.”
Ajakan untuk Reformasi Kolektif
Meski menuai kontroversi, Dhani tetap konsisten dengan sikapnya. Ia mendorong adanya forum independen antar-musisi untuk menyusun usulan revisi UU Hak Cipta yang lebih adil, terbuka, dan berpihak pada pelaku kreatif, bukan hanya pemain industri besar.
“Musik bukan sekadar bisnis. Ini adalah ekspresi, warisan budaya, dan hidup bagi banyak orang. Jangan biarkan sistem ini dimonopoli,” ujar pendiri Dewa 19 tersebut.
Suara Keras yang Menggema
Apa pun sikap publik terhadap Ahmad Dhani, satu hal tak terbantahkan: ia telah membuka ruang diskusi yang selama ini tertutup rapat. Di tengah maraknya pembahasan soal keadilan digital dan kepemilikan intelektual, suara-suara seperti Dhani bisa menjadi pemantik reformasi sistemik dalam industri musik Indonesia.
Kini, pertanyaannya bukan hanya apakah Dhani benar atau salah — tapi apakah musisi Indonesia siap bersatu untuk menyusun ulang panggung yang lebih adil bagi semua.